Tidak ada satu pun sebuah gagasan yang yang lahir begitu saja di luar konteks dari ruang dan waktu di mana pemikiran itu tumbuh. Setiap gagasan atau ide yang muncul, akan mencerminkan sebuah produk pada zamannya. Yang akan selalu terikat oleh ruang dan waktu, sehingga pemikiran tersebut menjadi sintesis antara kesinambungan dan perubahan.
Ketika waktu berjalan, ruangpun akan terbentuk mengikuti waktunya. Grand Design Illahi (sunatullah) adalah sebuah kesempurnaan yang harus dipegang sebagai pembenar karena memang pasti benar (empiris).Perkembangan akal manusia berbanding lurus dengan perkembangan ruang dan waktu. Manusia pada zamannya selalu berusaha menembus ruang dan waktunya. Teori evolusi tidak hanya mencakup tentang evolusi fisik, semuanya sudah masuk kedalam rencana Tuhan yaitu grand design Illahi. Maha Sempurna Allah.
Setiap temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan akhirnya selalu selaras dengan pemikiran kaum pencari Tuhan. Manusia tidak bisa lepas dari masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Kerinduan akan kampung halaman, asal-usul, berakhir pada kerinduan Ilahi.
Jika ditinjau dari ilmu hakikat ajaran Syekh Siti Jenar tidak dapat dianggap salah, karena ajaran manunggaling kawulo gusti dan atau Wahdatul wujud, bermakna bahwa didalam diri manusia itu terdapat roh suci yang berasal dari Tuhan. Menyatunya roh (Tuhan) dengan jasad (tanah). Hal ini sesuai dengan firman Allah: "Ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah, maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya Roh-KU. Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya". (QS. Shaad. 71-72)
Salah satu anggapan penyebaran Islam di Nusantara, yang dilakukan oleh para ulama pesantren dengan menggunakan pendekatan tasawuf sunni. Adalah bentuk dakwah mereka dalam rangka melawan kaum kebatinan, yang dalam budaya Jawa dikenal dengan nama Kejawen.
Orang Jawa tidak sama dengan kaum jahiliahnya Arab yang digambarkan dalam ajaran agama Islam. Maksudnya kalau mau mendidik orang Jawa berbeda dengan suku atau bangsa lainnya, contohnya; Jangan mengajari orang Jawa tentang ayat-ayat sabar, karena orang Jawa adalah pelaku sabar atau sudah "ngelakoni", bukan tahap retorika.
Apakah agama Islam tidak mempelajari kebatinan jika ditumburkan pada melawan kebatinan yang dikenal sebagai Kejawen. Rasanya terlalu dini untuk mengambil kesimpulan menggunakan kata "melawan" Kejawen. Kesalahan dalam narasi dapat mengubah makna yang terkandung.
Ajaran agama Islam jangan menjadi Autopilot, karena akan mengekang karunia Tuhan lainnya. Manusia itu diciptakan berbeda-beda baik geografis, suku dan budayanya untuk berkembang dari sekarang kemasa yang akan datang.
Sebagai bukti sejarah atas penentangan tersebut, disebutkan oleh Alwi Sihab bahwa Syekh Siti Jenar sebagai seorang yang menyimpang dari tasawuf sunni, karena mengamalkan paham wihdatul wujud. Sehingga karena hal tersebut, Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh para Wali Songo. Dan mereka yang mengikuti pandangan Syekh Siti Jenar, pada akhirnya mengembangkan paham kebatinan atau kejawen.
Tetapi Gus Dur menolak anggapan tersebut, hal itu didasari karena memang sejarah hukuman mati Syekh Siti Jenar mempunyai banyak tafsir yang berbeda-beda. Jika Alwi Shihab menganggap bahwa para ulama Nusantara menentang paham kebatinan atau kejawen. Maka para ulama tersebut telah menentang salah satu bentuk dari wihdatul wujud (pantheisme/manunggaling kawulo gusti).
Dalam hal tersebut, Gus Dur mempunyai pandangan bahwa hukuman mati yang dijatuhkan oleh Wali Songo kepada Syekh Siti Jenar, bukan karena beliau berpaham Wihdatul Wujud.
Tetapi karena beliau mengajarkan Wihdatul Wujud kepada banyak orang, termasuk orang awam. Gus Dur beranggapan bahwa dosa Syekh Siti Jenar bukan pada penerimaannya tentang Wihdatul Wujud, tetapi Karena terlalu gegabah dalam mengajarkan paham tersebut dikalangan orang banyak.
Gus Dur yang lahir dari akar tradisi pesantren, dan mengetahui seluk beluk kultural ulama Nusantara. Dan beranggapan bahwa ulama tradisionalis Indonesia, banyak yang mengambil ajaran Wihdatul Wujud, tetapi untuk dirinya sendiri. Hal itu dikarenakan mereka telah menguasai syariat atau fikih.
Dalam tradisi Islam, orang yang ingin mendalami tasawuf dianjurkan untuk memperkuat syariatnya dulu. Agar tidak menjadi orang yang zinqid atau bejat, dan juga sebaliknya. Orang yang sudah kuat syariatnya dianjurkan untuk mengamalkan tasawuf agar tidak tersesat atau fasiq.
Baca juga: Syekh Siti Jenar Dalam Pusaran Kekuasaan
Para ulama tradisional Indonesia menolak penyebaran wihdatul wujud dikalangan awam, tetapi bagi kepentingan diri sendiri banyak para ulama yang sudah pada maqomnya mengamalkan itu, dan mereka menjalankan amalan itu secara tertutup.
Salah satu ajaran wihdatul wujud yang digunakan adalah wihdatul syuhud. Sebuah ajaran untuk mengetahui sesuatu yang belum terjadi, atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan weruh sedurunge winarah.
Pemahaman tersebut diperkuat dengan sikap KH. M Hasyim Asy’ari, yang menolak ulang tahun kematiannya (haul) di Tebuireng. Beliau mengetahui dengan tepat bahwa suatu saat beliau akan disucikan atau dikultuskan.
Bagi Gus Dur tasawuf seharusnya menjadi milik semua kaum muslimin, sebagaimana kaum muslimin yang harus bertauhid dan berfikih. Dengan begitu, maka tasawuf akan menjadi karakter building dalam diri kaum muslimin untuk menghadapi dampak negative modernisasi.
Sebagian besar tulisan bersumber pada: www.nu.id
0 Komentar